DALAM beberapa tahun belakangan ini, berita tentang narkotika tidak pernah ada habisnya. Penggerebekan, penangkapan, mereka yang harus menderita HIV/AIDS dan seterusnya. Peredarannya semakin marak dan meluas dari kota besar ke daerah sekitarnya, dari kalangan menengah ke kelompok paling bawah, dan dari kelompok remaja ke anak-anak.
Penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya itu tentu membawa dampak yang luas dan kompleks. Dari sekian banyak permasalahan yang ditimbulkan sebagai dampak penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif antara lain adalah perubahan perilaku menjadi perilaku antisosial, gangguan kesehatan, menurunkan produktivitas kerja secara drastis, mempertinggi jumlah kecelakaan lalu lintas, kriminalitas, dan tindak kekerasan lainnya.
Hal ini lebih diperburuk lagi dengan mudahnya terjadi komplikasi medik berupa kelainan paru, gangguan fungsi liver, hepatetis, dan penularan HIV/AIDS karena pemakaian jarum suntik secara bergantian (Dadang Hawari; 2002, hlm. 2).
Jumlah korban yang tewas setiap harinya akibat mengonsumsi narkoba mencapai 41 orang atau setahun sekitar 15.000 orang (mayoritas remaja) Indonesia tewas karena penyalahgunaan narkotika Dalam kata lain, penyalahgunaan narkotika membawa pada kematian yang mengenaskan dan sia-sia.
Secara ekonomi, angka dari Badan Narkotika Nasional membuat orang terperangah. Kerugian keuangan masyarakat mencapai Rp 23,6 triliun, Rp 11,36 triliun di antaranya untuk belanja narkoba.
Kalau tak ada pencegahan serius, dalam lima tahun ke depan masyarakat dirugikan Rp 207 triliun per tahun, demikian laporan Ketua Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) I Made Mangku Pastika, Kamis (15/3).
Angka finansial itu dari segi faktor kerusakan kurang "bunyi". Kerusakan otak yang diakibatkan tidak bisa diperbandingkan dengan kerugian finansial. Kerusakan penyalahgunaan narkoba dari hari ke hari semakin mengerikan, menyangkut gradasi kerusakan maupun tingkat keluasannya. Daya rusak dan akibatnya tidak kalah mengerikan dibanding korupsi.
Sejak di bangku sekolah
Mengkhawatirkannya, target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Sekretaris Pelaksanan Harian Badan Narkotika Nasional (BNN) Pranowo Dahlan, dalam acara temu pakar dan penyuluhan narkotik bagi artis komedi di Jakarta menyatakan bahwa pelajar yang mengunakan narkotik atau ngedrug justru mendominasi.
Data hasil penelitian Dadang Hawari juga menunjukkan bahwa 90 persen korban penyalahgunaan narkotika adalah remaja usia sekolah atau mulai terlibat dengan masalah narkotika pada usia sekolah.
Sementara itu dokter Agus Muharam menemukan fakta bahwa 84 persen para pencandu ternyata berusia antara 16 hingga 23 tahun.
"Bahkan pemakai sebanyak 68 persennya berusia antara 16 hingga 20 tahun. Yang lebih menyedihkan, pemakai pemula ternyata berusia antara 12 hingga 13 tahun atau pada usia SD," jelasnya.
Untuk tingkat Jawa Tengah, data yang paling mengejutkan adalah hasil penelitian Badan Narkotika Propinsi (BNP) Jateng terhadap para siswa sekolah dengan sampel tiga kota yakni Semarang, Surakarta, dan Purwokerto. Untuk Kota Semarang ditemukan angka penyalahgunaan narkotika di kalangan siswa mencapai 3,57 persen, Surakarta 2,29 persen dan di Purwokerto mencapai 1,86 persen.
Mengapa anak sekolah
Masa sekolah yang berada pada masa remaja adalah suatu fase perkembangan antara masa kanak dan dewasa. Dalam periode tersebut terjadi perubahan fisiologis, psikologis, dan nilai-nilai sosial.
Karena pesatnya perubahan tersebut, masa remaja merupakan masa yang rawan yang sering menimbulkan ketegangan, keresahan, kebingungan, dan rasa tidak aman. Untuk mengatasi keadaan ini, mereka mencari-cari jawaban. Apabila tidak menemukan sumber jawaban yang benar mereka akan mendapatkan informasi yang menyesatkan.
Pada sisi lain, kelompok teman sebaya juga sangat berpengaruh karena dapat menimbulkan tekanan kelompok. Apabila remaja atau siswa mendapatkan teman kelompok yang menggunakan narkotika maka kemungkinan besar dia akan terbawa ke dunia narkotika juga.
Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan oleh kelompoknya.
Yang telah dilakukan sekolah
Sekolah tentu tahu masalah penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja yang boleh jadi itu dilakukan oleh beberapa di antara para siswa mereka. Oleh karena itu sekolah melakukan program-program antisipatif untuk mencegahnya.
Di antara program-program pencegahan adalah mengembangkan proses belajar mengajar yang menjurus pada terbentuknya remaja yang mandiri. Menyediakan pilihan kegiatan yang bermakna bagi anak (ekstrakurikuler) sehingga mereka tidak terjerumus kepada kegiatan yang negatif.
Sekolah juga memberikan penyuluhan kepada para siswa tentang bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika melalui guru BP, diskusi maupun talkshow juga melibatkan siswa dalam perencanaan untuk intervensi dan pencegahan penyalahgunaan narkotika di sekolah.
Program lain yang cukup penting adalah program waspada narkotika dengan cara mengenali benar ciri-ciri siswa pengguna narkotika, mewaspadai adanya tamu tak diundang yang sok akrab dengan para siswa (pengedar).
Program waspada dilanjutkan dengan razia mendadak. Razia tidak hanya untuk mencegah narkotika tapi juga untuk mencegah siswa membawa apa saja yang tidak sepatutnya dibawa ke sekolah.
Yang tidak kalah penting adalah usaha sadar untuk menciptakan suasana lingkungan yang sehat serta membina hubungan yang harmonis antara semua warga sekolah dan menciptakan suasana belajar mengajar yang baik dan kondusif untuk perkembangan siswa.
Biasanya para pengedar maupun pemakai di sekolah (jika memang ada) telah paham betul program-program sekolah sebagai mana tersebut di muka. Mereka tentu saja mengantisipasinya dengan sebaik yang mereka bisa.
Ada usaha di kalangan mereka untuk menghindari kecurigaan dengan cara tetap terlihat segar bugar tidak pucat di sekolah, prestasi bertahan, tidak membuat keributan, rutin membayar SPP, juga memiliki kiat-kiat khusus bagaimana berkelit jika ada razia. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menangkap basah mereka di sekolah.
Tindak lanjut
Secanggih apa pun kiat mereka, ibarat sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya toh jatuh juga. Jurus-jurus jitu menghindari deteksi sekolah memang mereka kuasai, tapi mengingat sifat narkotik yang adiktif dan menuntut dosis yang lebih tinggi (toleransi) maka disiplin cari aman itu akhirnya akan terkuak juga.
Sebagai contoh, semula mereka bisa tetap terlihat segar bugar di sekolah tapi ketika racun narkotika itu telah menguasai pikiran mereka maka disiplin itu mau tidak akan terlanggar dengan sendirinya. Begitu juga dengan membayar SPP, pada akhirnya akan mereka pakai juga untuk membeli barang haram tersebut.
Betapapun cepat atau lambat para penyalahguna itu akan tertangkap juga, akan tetapi ini tidak berarti bahwa sekolah tak perlu waspada. Jika muncul indikasi adanya penggunaan narkotika, sekecil apa pun, tindak lanjut pengusutan tetap harus dilakukan untuk benar-benar membebaskan seolah dari narkotika. hf
Abdul Wahid Dosen Fakultas Tabiyah IAIN Walisongo Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar